RESUME BUKU
MENCARI PAKLAWAN
KARYA ANIS MATTA
TRAGEDI
CINTA
Ada
sisi lain yang menarik dari pengalaman emosional para pahlawan yang berhubungan
dengan perempuan. Jika kebutuhan psikologis dan biologis terhadap perempuan
begitu kuat pada para pahlawan, dapatkah kita membayangkan seandainya mereka
tidak mendapatkannya?
Rumah tangga
para pahlawan selalu menampilkan, atau bahkan menjelaskan, banyak sisi dari
kepribadian para pahlawan. Dari sanalah mereka memperoleh energi untuk bekerja
dan berkarya. Akan tetapi, jika mereka tidak mendapatkan sumber energi itu,
maka kepahlawanan
mereka adalah
keajaiban di atas keajaiban. Tentulah ada sumber energi lain yang dapat
menutupi kekurangan itu, sesuatu yang dapat menjelaskan kepahlawanan mereka.
Ibnu
Qayyim menceritakan kisah Sang Imam, Muhammad Bin Daud AI-Zhahiri, pendiri
mazhab Zhahiriyah. Beberapa saat menjelang wafatnya, seorang kawan menjenguk
beliau. Namun, ternyata Sang Imam justru
mencurahkan isi hatinya kepada sang kawantentang kisah kasihnya yang tak sampai.
Ternyata beliau mencintai seorang gadis tetangganya, tetapi entah bagaimana,
cinta suci dan luhur itu tak pernah tersambung jadi kenyataan. Maka, curahan
hatinya tumpah ruah dalam bait-bait puisi sebelum wafatnya.
Kisah
Sayyid Quthb bahkan lebih tragis. Dua kalinya ia jatuh cinta, dua kali pula ia
patah hati, kata DR. Abdul Fattah Al-Khalidi yang menulis tesis master dan
disertasi doktornya tentang Sayyid Quthb. Gadis pertama berasal dari desanya
sendiri, yang kemudian menikah hanya tiga tahun setelah Sayyid Quthb pergi ke
Kairo untuk belajar. Sayyid menangisi peristiwa itu. Gadis kedua berasal dari
Kairo. Untuk ukuran Mesir, gadis itu tidak termasuk cantik, kata Sayyid. Namun,
ada gelombang yang unik yang menyirat dari sorot matanya, katanya menjelaskan
pesona sang kekasih. Tragedinya justru terjadi pada hari pertunangan. Sambil
menangis, gadis itu menceritakan bahwa Sayyid adalah orang kedua yang telah
hadir dalam hatinya. Pengakuan itu meruntuhkan keangkuhan Sayyid; karena ia
memimpikan seorang yang perawan fisiknya, perawan pula hatinya. Gadis itu hanya
perawan pada fisiknya. Sayyid Quthb tenggelam dalam penderitaan yang panjang.
la akhirnya memutuskan hubungannya. Namun, hal itu membuatnya semakin
menderita. Ketika ia ingin rujuk, gadis itu justru menolaknya. Ada banyak puisi
yang lahir dari penderitaaan itu. la bahkan membukukan romansa itu dalam sebuah
roman.
Kebesaran
jiwa, yang lahir dari rasionalitas, realisme, dan sangkaan baik kepada Allah,
adalah keajaiban yang menciptakan keajaiban. Ketika kehidupan tidak cukup bermurah
hati mewujudkan mimpi mereka, mereka menambatkan harapan kepada sumber segala
harapan;
Allah! Begitulah
Sayyid Quthb menyaksikan mimpinya hancur berkeping-keping, sembari berkata,
"Apakah kehidupan memang tidak menyediakan gadis impianku, atau perkawinan
pada dasarnya tidak sesuai dengan kondisiku?" Setelah itu, ia berlari
meraih takdirnya; dipenjara 15 tahun, menulis Fii Dzilalil Qur'an, dan mati di
tiang gantungan! Sendiri. Hanya sendiri!
KEBUTUHAN, BUKAN KETERGANTUNGAN
Baik dalam
kaitannya dengan kebutuhan psikologis akan kelembutan, kesetiaan, cinta dan
kasih
sayang, maupun
dalam kaitannya dengan kebutuhan biologis terhadap perempuan, selalu tersisa
sebuah syubhat
yang harus dijelaskan. Kedua jenis kebutuhan itu tidak pernah berkembang
menjadi
ketergantungan yang melumpuhkan. Cinta yang besar kepada istri, misalnya, baik
pada sisi psikologisnya maupun pada sisi biologisnya, tidak boleh berkembang menjadi
ketergantungan. Dan itulah yang buru-buru diingatkan oleh Al-Qur' an, bahwa
keluarga, pada suatu ketika seperti ini, dapat menjadi musuh bebuyutan.
Ketergantungan
adalah tanda kelemahan jiwa. Dan seseorang tidak akan pernah menjadi pahlawan
dengan jiwa yang lemah. Suatu saat Abu Bakar As-Shiddiq pernah menyuruh anaknya
menceraikan istrinya. Sebabnya adalah sang istri terlalu cantik dan sang anak terlalu
mencintainya, bahkan kadang ketinggalan shalat jama'ah karena berat berpisah
dengan istrinya.
Pada kesempatan
lain, Umar bin Khattab juga pernah menyuruh puteranya, Abdullah Bin Umar, satu
dari tujuh ulama besar sahabat Rasulullah saw, untuk menceraikan istrinya.
Alasannya sama, karena ia terlalu mencintai istrinya. Walaupun Abdullah Bin
Umar tetap mempertahankan
istrinya, tetapi
sang ayah menganggap itu sebagai kelemahan jiwa. Maka, ketika seorang sahabat
mengusulkan kepada Umar untuk mencalonkan puteranya itu, Abdullah, sebagai
khalifah, beliau menjelaskan beberapa alasan penolakannya, diantaranya,
katanya, "Saya tidak akan pernah menyerahkan amanah ini kepada seorang laki-laki
yang lemah, yang bahkan tidak berdaya menceraikan istrinya." Jadi, syahwat
kepada perempuan dan kebutuhan akan kelembutan, kesetiaan, cinta dan kasih
sayang, bersinergi dengan baik bersama rasionalitas sang pahlawan. Maka, mereka
melepaskan sisi kekanakan mereka dengan polos, atau menumpahkan syahwat
mereka dengan
sempurna, tetapi mereka tidak berubah menjadi seorang pria melankolik. Mereka
mungkin romantis, tetapi tidak melankolik. Perbedaan itu akan terlihat pada,
misalnya, peristiwa
kematian atau perceraian.
Mereka mungin sangat bersedih, tetapi mereka tidak larut. Mereka mungkin
terguncang, tetapi tidak meratap. Kenangan ada ruangnya dalam ingatan mereka,
tetapi pesta sejarah harus dilanjutkan. Mereka memiliki kebesaran jiwa yang mengalahkan
sifat melankolik mereka. Maka, walaupun Rasulullah saw sangat mencintai Khadijah,
beliau akhirnya menikah lagi dengan Saudah dan Aisyah pada tahun kesebelas.
Kesedihan dan ingatannya pada Khadijah tidak hilang sama sekali. Yang terjadi
adalah rasionalitas dan realisme mengalahkan
segalanya.
SAHABAT
SANG PAHLAWAN
Anda harus
waspada dan berhati-hati! Sebab, di sini ada jebakan kepahlawanan yang sering
menipu banyak orang. Sahabat para pahlawan belum tentu juga pahlawan. Inilah
tipuannya. Para pahlawan mungkin tidak tertipu, tetapi orang-orang yang bersahabat
dengan para pahlawanlah yang lebih sering tertipu.
Dalam lingkungan
pergaulan, para pahlawan adalah parfum. Apabila berada di tengah kerumunan,
maka semua orang akan kecipratan keharumannya. Apabila ada "orang
lain" yang mulai mendekat dan mencium keharuman itu, mungkin ia sulit
mengenali dari mana
keharuman itu berasal. Situasi
ini tentu saja menguntungkan orang-orang yang mengerumuni sang pahlawan:
Deferminasi Sosial kita memang tidak punya pilihan di depan takdir Allah SWT
yang bersifat seperti ini; kita mendapatkan peluang untuk diduga sebagai
pahlawan. Itulah awal mula kejadiannya. Orang-orang biasa selalu merasa puas
dengan bergaul dan menjadi sahabat
para pahlawan. Mereka sudah cukup
puas dengan mengatakan, "Oh, pahlawan itu sahabatku," atau ungkapan
"Oh, pahlawan itu dulu seangkatan dengan-ku." Orang-orang itu tidak
mau bertanya, mengapa bukan dia yang menjadi pahlawan. Akan tetapi, ada
"orang biasa" yang mempunyai sedikit rasa megaloman, semacam obsesi kepahlawanan
yang tidak terlalu kuat, namun ada dan meletup-letup pada waktu tertentu.
Orang-orang seperti ini sering merasa telah menjadi pahlawan hanya karena ia
bersahabat dengan para pahlawan. Dan karenanya, sering
berperilaku seakan-akan dialah
sang pahlawan.
Yang kita
saksikan dalam kejadian ini adalah suatu proses identifikasi "orang
biasa" dengan sahabatnya yang "pahlawan". Ini merupakan tipuan
jiwa: seseorang tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan para pahlawan, tetapi mau
menyandang gelar pahlawan, dengan memanfaatkan kamuflase persahabatan. Persahabatan
memang sering menipu, bukan karena
tabiat persahabatan yang memang
menyimpan tipuan, tetapi karena sebuah "kebutuhan jiwa" tertentu,
yang memanfaatkan persahabatan untuk memenuhinya. Maka, Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah, suatu ketika memperingatkan para "murid" yang scdang
menuntut ilmu di bawah bimbingan para tilama. Katanya, "Waspadalah, jangan
merasa telah menjadi ulama, hanya karena
bergaul dan bersahabat dengan para ulama."Apakah kita harus meninggalkan
sahabat-sahabat kita yang para pahlawan itu? Tentu saja tidak! Yang perlu kita
lakukan adalah meluruskan perasaan kita sendiri dan meluruskan pandangan kita
terhadap diri kita sendiri. Suatu saat, Buya Hamka membawa isterinya ke alam
sebuah majelis, dimana ia akan erceramah.
Tiba-tiba, tanpa
diduga, sang protokol justru mempersilakan juga isteri beliau untuk berceramah.
Mereka tentu berprasangka baik: isteri sang ulama juga mempunyai ilmu yang sama. Dan, isteri beliau benar-benar naik ke
podium. Buya Hamka terhenyak. Hanya satu menit. Setelah memberi salam,
isterinya berkata, "Saya bukan penceramah, saya hanya tukang masak untuk sang
penceramah. "Jangan melakukan identifikasi diri yang salah. Jangan menilai
diri sendiri melampaui kadarnya yang objektif. Namun, ada yang jauh lebih
penting dari itu. Jangan
pernah berpikir untuk menjadi
pahlawan, tanpa melakukan pekerjaan-pekerjaan para pahlawan.
PENGORBANAN
Seseorang
disebut pahlawan karena timbangan kebaikannya jauh mengalahkan imbangan
keburukannya, karena kekuatannya mengalahkan sisi kelemahannya. Jika engkau
mencoba menghitung kesalahan dan kelemahannya, niscaya engkau menemui kesalahan
dan kelemahannya itu "tertelan" oleh kebaikan dan kekuatannya. Akan
tetapi, kebaikan dan kekuatan itu bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan
merupakan rangkaian amal yang menjadi jasanya bagi kehidupan masyarakat manusia.
Itulah sebabnya tidak semua orang baik dan kuat menjadi pahlawan yang dikenang
dalam ingatan kolektif masyarakat atau apa yang kita sebut sejarah. Hanya
apabila kebaikan dan kekuatan menjelma jadi matahari yang menerangi kehidupan,
atau purnama yang merubah malam jadi indah, atau mata air yang menghilangkan
dahaga. Nilai sosial setiap kita terletak pada apa yang kita berikan kepada
masyarakat, atau pada kadar manfaat yang dirasakan masyarakat dari keseluruhan
performance kepribadian kita. Maka, Rasulullah saw berkata, "Sebaik-baik
manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia yang
lain."Demikianlah, kita menobatkan seseorang menjadi pahlawan karena ada
begitu banyak hal yang telah ia berikan kepada masyarakat. Maka, takdir
seorangpahlawan adalah bahwa ia tidak pernah hidup dan berpikir dalam lingkup
dirinya sendiri. la telah melampai batas-batas kebutuhan psikologis dan
biologisnya. Batas-batas kebutuhan itu bahkan telah hilang dan lebur dalam
batas kebutuhan kolektif masyarakatnya di mana segenap pikiran dan jiwanya
tercurahkan.
Dalam
makna inilah pengorbanan menemukan dirinya sebagai kata kunci kepahlawanan seseorang.
Di sini ia bertemu dengan pertanggungjawaban, keberanian, dan kesabaran. Tiga
hal terakhir ini adalah wadah-wadah kepribadian yang hanya akan menemukan makna
dan fungsi kepahlawanannya apabila ada pengorbanan yang mengisi dan
menggerakkannya. Pengorbananlah yang memberi arti dan fungsi kepahlawanan bagi
sifat-sifat pertanggungjawaban, keberanian, dan kesabaran.
Maka, keempat makna dan sifat
ini—rasa tanggung jawab keagamaan,
semangat pengorbanan, keberanian jiwa, dan kesabaran. adalah rangkaian dasar
yang seluruhnya terkandung dalam ayat-ayat jihad. Dorongannya adalah tanggung
jawab keagamaan (semacam
semangat
penyebaran dan pembelaan). Hakikat dan tabiatnya adalah pengorbanan. Perisainya
keberanian jiwa. Namun, nafas panjangnya adalah kesabaran. Maka, benarlah apa
yang dikatakan Sayyid Quthb,"Orang yang hidup bagi dirinya sendiri akan
hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Akan tetapi, orang
yang hidup bagi orang lain akan hidup sebagai
orang besar dan
mati sebagai orang besar."Kaidah itu tidak saja berlaku bagi kehidupan
individu, tetapi juga merupakan kaidah universal yang berlaku bagi komunitas
manusia Syakib Arselan, pemikir Muslim asal Syiria, yang menulis buku Mengapa
Kaum Muslimin Mundur dari Orang Barat Maju menjelaskan jawabannya dalam kalimat
yang sededma, "Karena," kata yakib
Arselan,
"orang-orang Barat lebih banyak berkorban dari pada kaum Muslimin. Mereka
memberi lebih banyak demi agama mereka ketimbang apa yang diberikan kaum
Muslimin bagi agamanya. "Sekarang, mengertilah kita. Dan ketika ada
pertanyaan, "Apakah yang dibutuhkan untuk menegakkan agama ini dalam
realitas kehidupan?" Maka jawabnya adalah hadirnya para pahlawan sejati
yang tidak lagi hidup bagi dirinya sendiri, tetapi hidup bagi orang lain dan
agamanya, serta mau mengorbankan semua yang ia miliki bagi agamanya.